Rabu, 28 Mei 2008

KOMUNIKASI RADIO DAN KEADAAN DARURAT

oleh Bangkit Panji A
From :http://www.bppt.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=1511&Itemid=30


PADA era informasi yang kita alami saat ini, bermacam sarana telekomunikasi berkembang sangat pesat dan dengan mudah kita dapatkan. Dari telepon kabel, seluler, hingga satelit berkembang dengan pesatnya sehingga kita dengan mudah bisa menikmatinya. Sementara itu, keadaan yang sebaliknya terjadi pada perkembangan komunikasi radio, yang seakan semakin terpinggirkan sehingga sedikit yang memanfaatkan sarana komunikasi yang pernah mempunyai peran penting pada era tahun 40-an ini. Khususnya komunikasi radio pada band HF (high frequency, 3-30 MHz) dan VHF-rendah (very high frequency, 30-50 MHz) semakin sedikit orang mengenal dan menggunakannya. Namun, sesungguhnya masih banyak kegunaan dari perangkat komunikasi marjinal tersebut. Gelombang radio pada frekuensi 3-50 MHz dapat dipantulkan oleh lapisan ionosfer, suatu lapisan yang terbentuk dari ion dan elektron pada ketinggian sekitar 60 km sampai dengan 600 km di atas permukaan bumi. Dengan pemantulan oleh lapisan ionosfer ini, maka komunikasi radio pada band ini bisa mencapai jarak lebih dari 2.000 km tanpa perangkat pemancar ulang (repeater). Ini berbeda dengan komunikasi pada band VHF-tinggi (50-300 MHz) dan UHF (300-3.000 MHz). Untuk mencapai jarak yang jauh, maka komunikasi pada band ini memerlukan perangkat repeater, dan untuk band orde gigahertz (lebih dari 1.000 MHz) bisa memanfaatkan satelit sebagai "pemantul" dan "penguat" buatan. Dikarenakan komunikasi radio pada band HF dan VHF-rendah memanfaatkan lapisan ionosfer sebagai pemantul, propagasi gelombangnya akan sangat bergantung pada kondisi lapisan tersebut. Pada saat kondisi ionosfer baik dan frekuensi kerja yang digunakan sesuai dengan kondisi lapisan tersebut, maka peluang keberhasilan komunikasi juga besar sehingga komunikasi radio menjadi lebih optimal. Sebaliknya pada saat kondisi lapisan ionosfer burukdan pemilihan frekuensi kerja yang kurang tepat, maka peluang keberhasilan komunikasi menjadi rendah dan kemungkinan kegagalan juga akan sering terjadi. Oleh karena itu, untuk mengoptimalkan penggunaan komunikasi radio tersebut, diperlukan informasi prakiraan kondisi lapisan ionosfer yang terjadi pada saat berkomunikasi. Sampai saat ini telah cukup banyak program prediksi propagasi gelombang radio HF dan VHF-rendah yang telah dibuat dan dapat diperoleh dengan harga yang relatif murah dan bahkan ada yang gratis di-download melalui jaringan internet. Selanjutnya, perangkat radio komunikasi dapat diperoleh dengan harga dari puluhan ribu hingga ratusan ribu rupiah. Jika dilihat dari segi jangkauan komunikasi dan biaya operasionalnya, sebetulnya perangkat radio komunikasi relatif murah. Tanpa beban pulsa seperti penggunaan telepon pada umumnya, pembicaraan melalui komunikasi radio bisa menjangkau jarak yang cukup jauh, sebanding dengan telepon interlokal bahkan internasional. Hal seperti ini tentunya merupakan hal positif dan akan menghemat biaya operasional yang tidak sedikit. Bahkan, perkembangan teknologi modem yang terjadi saat ini memungkinkan pengiriman paket data (bukan suara) menggunakan perangkat radio komunikasi ini walaupun kecepatannya masih rendah. BAGAIMANA dalam kondisi darurat? Dalam keadaan darurat seperti halnya di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) pada saat terjadi bencana alam gempa bumi dan tsunami saat ini, kita ketahui hampir seluruh infrastruktur di bumi "Serambi Mekkah" ini hancur, termasuk sarana telekomunikasi. Padahal, pada saat bersamaan diperlukan sarana komunikasi untuk melakukan koordinasi penanggulangan korban bencana. Memang telepon satelit banyak disebut-sebut dan digunakan untuk mendukung koordinasi penanganan bencana, namun penulis yakin aparat kepolisian dan TNI banyak terbantu oleh perangkat komunikasi radio yang dipunyai. Bahkan, penulis yakin, banyak pula rekan-rekan dari Organisasi Radio Amatir Republik Indonesia (ORARI) yang dengan peralatan radionya berperan dalam kegiatan kemanusiaan seperti ini. Barangkali inilah kondisi riil yang ada, komunikasi radio masih mempunyai peran yang cukup penting, namun semakin kurang diperhatikan dan semakin ditinggalkan. Mengingat kondisi alam Nusantara dengan berbagai potensinya, termasuk potensi bencana alam, seperti gempa bumi, tsunami, banjir, kekeringan, kebakaran hutan, dan gunung meletus, maka perlu dipertimbangkan sarana pendukung penanggulangan bencana yang lengkap. Baik sarana komunikasi modern dan canggih maupun perangkat komunikasi marjinal seperti radio. Di negara maju seperti Amerika Serikat sekali pun, komunikasi radio masih diperhatikan dan merupakan salah satu sarana komunikasi survival yang banyak digunakan oleh badan penanggulangan bencana. Di dunia pelayaran dan penerbangan, perangkat komunikasi ini masih merupakan keharusan untuk kapal maupun pesawat terbang. Kemudian wilayah negara Indonesia yang luas dengan medan yang berat juga menjadi salah satu penyebab lambatnya perkembangan pembangunan sarana dan prasarana telekomunikasi di negeri ini, yang jauh di bawah negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia, bahkan Vietnam. Bukan hanya perkembangannya yang lambat, tetapi juga pemerataan pembangunannya juga belum terjadi. Di satu sisi perkembangan telekomunikasi di Pulau Jawa dan kota-kota besar di luar Jawa bisa dikatakan sangat pesat, namun masih banyak daerah-daerah terpencil dan terisolasi, dan tentu saja belum terjamah sama sekali oleh sarana telekomunikasi. DARI kegiatan sosialisasi yang dilakukan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) pada tahun 2004, terungkap informasi bahwa masih ada daerah terpencil di negeri ini yang masih mengandalkan komunikasi radio. Ini masih lumayan, masih ada daerah yang sama sekali belum memiliki alat komunikasi radio sekali pun, apalagi sarana telekomunikasi seperti telepon kabel atau seluler. Sungguh sangat berat membangun wilayah Nusantara yang demikian kondisinya. Dan, ini harus kita sadari sepenuhnya. Dari segi biaya, maka diperlukan modal dan investasi yang tidak kecil untuk membuka dan menghubungkan seluruh wilayah Nusantara ini melalui telekomunikasi. Belum lagi masalah sumber daya manusia (SDM), khususnya di bidang telekomunikasi dan informasi, yang masih sangat kurang dan masih terbatas kemampuannya. Jadi, wajarlah jika beberapa waktu lalu seorang menteri menyiratkan rasa pesimistis untuk menyongsong era masyarakat informasi tahun 2015 yang telah menjadi komitmen kita. Kondisi demikian sungguh memprihatinkan dan perlu dicari strategi dan kebijakan yang tepat untuk menanggulanginya. Karena itu, sebagai penutup, penulis ingin menyampaikan tiga hal berkaitan dengan komunikasi radio. Pertama, untuk membuka isolasi daerah terpencil, maka pemerintah kabupaten atau kecamatan sebaiknya mengaktifkan kembali sarana komunikasi radio yang sudah ada atau mengadakannya bagi yang belum memiliki. Kedua, sebaiknya pemerintah kabupaten dan kecamatan "menempatkan" sarana komunikasi radio sebagai sarana komunikasi survival yang harus ada dan siap digunakan setiap saat diperlukan, seperti yang berlaku di TNI dan kepolisian. Ketiga, pemerintah kabupaten dan kecamatan sebaiknya meningkatkan kemampuan SDM-nya di bidang komunikasi dan informasi melalui jalinan kerja sama dengan lembaga penelitian maupun perguruan tinggi. Tentu saja semua itu tidak akan berjalan tanpa koordinasi, dukungan, dan peran serta pemerintah pusat dan kita semua. Semoga. Sumber: Kompas (4/2/05) Jiyo Harjosuwito-Peneliti Lapan-Bandung *rc

Tidak ada komentar: