Rabu, 28 Mei 2008

Potensi Teknologi Komunikasi dan Informasi

oleh: Anggraeni S.L.
oleh: A.P. Hardhono

Pada artikel ini penulis akan melakukan inventarisasi teknologi komunikasi dan informasi yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung pendidikan jarak jauh di Indonesia serta menguraikan wujud pemanfaatannya. Artikel ini akan dimulai dengan melihat kembali pengertian pendidikan jarak jauh sehingga ulasan pemanfaatan infrastruktur teknologi komunikasi dan informasi dapat dengan lebih jelas diikuti.

Pengertian Pendidikan Jarak Jauh
Telah banyak ahli yang membahas mengenai pengertian dan karakteristik pendidikanjarak jauh diantaranya Keegan (1984), Holmberg (1977), dan Moore (1973). Walaupun
agak sulit untuk mendapatkan satu definisi yang diterima oleh semua pakar pendidikan
jarak jauh, namun karakteristik pendidikan jarak jauh yang dikemukakan oleh Keegan
(1984) dapat dipakai sebagai acuan dasar untuk pembahasan dalam artikel ini. Berikut ini adalah karakteristik pendidikan jarak jauh yang dikemukakan oleh Keegan.
• ada keterpisahan yang mendekati permanen antara tenaga pengajar (guru atau dosen)
dari peserta ajar (siswa atau mahasiswa) selama program pendidikan
• ada keterpisahan yang mendekati permanen antara seorang peserta ajar (siswa atau
mahasiswa) dari peserta ajar lain selama program pendidikan
• ada suatu institusi yang mengelola program pendidikannya
• pemanfaatan sarana komunikasi baik mekanis maupun elektronis untuk
menyampaikan bahan ajar
• penyediaan sarana komunikasi dua arah sehingga peserta ajar dapat mengambil
inisiatif dialog dan mengambil manfaatnya.
Jadi dari uraian karakteristik pendidikan jarak jauh di atas dapat disimpulkan bahwa
keterpisahan kegiatan pengajaran dari kegiatan belajar adalah ciri yang khas dari
pendidikan jarak jauh. Identifikasi ciri khas pendidikan jauh seperti di atas sejalan dengan apa yang dikemukakan Moore (1973) bahwa pendidikan jarak jauh adalah sekumpulan metoda pengajaran dimana aktivitas pengajaran dilaksanakan secara terpisah dari aktivitas belajar. Pemisah kedua kegiatan tersebut dapat berupa jarak fisik, misalnya karena peserta ajar bertempat tinggal jauh dari lokasi institusi pendidikan. Pemisah dapat pula jarak non-fisik yaitu berupa keadaan yang memaksa seseorang yang tempat tinggalnya dekat dari lokasi institusi pendidikan namun tidak dapat mengikuti kegiatan pembelajaran di institusi tersebut. Keadaan seperti ini terjadi misalnya karena pekerjaan yang tidak dapat ditinggalkan.
Jarak sebagai pemisah seperti di ataslah yang hendak diatasi melalui pendidikan jarak
jauh dengan memanfaatan rancangan instruksional dan rancangan interaksi supaya
kegiatan belajar yang dirancang dengan sugguh-sungguh dapat tercapai. Teori yang
berkembang sebagai hasil dari upaya untuk mengatasi jarak dalam kegiatan ini dikenal
dengan teori jarak transaksional (Moore, M.G. & Kearsley, G, 1996)
Karena ciri khasnya adalah keterpisahan jarak baik dalam arti fisik dan non-fisik seperti yang dikemukakan di depan maka kegiatan pembelajaran tatap muka dapat dikatakan terjadi dalam frekuensi yang rendah. Isi pembelajaran disampaikan melalui media dalam berbagai jenis sedangkan komunikasi/ interaksi antara peserta ajar dengan tenaga pengajarnya atau dilakukan dengan memanfaatkan sarana komunikasi. Dengan demikian program pendidikan dapat diikuti dari dari mana saja dan kapan saja selama media belajar dan sarana komunikasi dua arah tersedia supaya peserta ajar dan tenaga
pengajarnya dapat berinteraksi untuk membahas isi pembelajaran.
Pendidikan yang diselenggarakan dengan system yang secara garis besar digambarkan
seperti di atas tentu akan membuka peluang belajar bagi mereka yang tidak bisa
mengikuti program pendidikan konvensional. Mereka yang sudah berkeluarga, bekerja
biasanya tidak mempunyai waktu yang cukup untuk mengikuti perkuliahan yang
diselenggarakan dengan jadwal dan hanya dapat diikuti dari tempat tertentu saja.
Dari uraian tersebut di atas dapat diidentifikasi peran yang dapat dimainkan oleh
teknologi komunikasi dan informasi beserta infrastrukturnya dalam pendidikan jarak
jauh. Peran tersebut meliputi presentasi materi atau isi pembelajaran dan penyediaan
sarana komunikasi atau interaksi antara institusi pendidikan jarak jauh dengan peserta program pendidikannya.
Tiga dari lima media/teknologi yang dapat dipakai dalam penyelenggaraan pendidikan
jarak jauh yang telah diidentifikasi Moore dan Kearsley (1996) berkaitan dengan
teknologi informasi dan komunikasi. Ketiga media/teknologi tersebut adalah radio dan
televisi, telekonferensi, dan pembelajaran berbantuan komputer. Dua media yang tidak
terkaitan dengan teknologi komunikasi dan informasi adalah cetak dan audio/video kaset.
Sebelum sampai pada pembahasan mengenai bagaimana masing-masing media/teknologi
tersebut dapat dipakai untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan jarak jauh di
Indonesia, ada beberapa aspek dari media yang perlu diperhatikan dalam mencermati
media/teknologi. Kerangka yang akan dipakai dalam mencermati media tersebut
mengacu pada kriteria pemilihan media dan teknologi yang dikemukakan oleh Bates
(1995). Kriteria tersebut diperkenalkan dalam sebuah akronim ACTIONS yang membantu
mengingat bahwa aspek Aksesibilitas, Cost (biaya), Teaching-Learning Functions
(efektivitas fungsi pembelajaran), Interactivity (interaktivitas), Organization, Novelty,dan Speed. Berikut ini adalah makna dari empat aspek pertama (yang penulis anggap sangat penting) dari aspek-aspek tersebut.
Aksesibilitas mengacu pada proporsi sasaran program yang mempunyai akses pada
media/teknologi yang akan digunakan dalam aktivitas pembelajaran. Aspek akses ini
tidak terbatas pada akses secara fisik semata-mata namun aspek mampu atau bahkan
kenyamanan dalam memanfaatkan media tersebut. Semakin besar proporsi sasaran yang
mempunyai akses pada media, semakin besar peluang sukses dari media yang akan
dipergunakan.
Biaya meliputi biaya yang harus dikeluarkan oleh institusi dan oleh peserta ajar. Biaya pada institusi meliputi biaya tetap (investasi awal) yaitu biaya yang harus dikeluarkan pada waktu mengembangkan media dan biaya tambahan bagi setiap penambahan jumlah peserta (operasional).
Efektifitas fungsi pembelajaran mengacu pada kesesuaian media untuk menyampaikan isi
pembelajaran. Bila isi pembelajaran memerlukan presentasi materi dalam berbagai
format, misalnya teks, suara, gambar, animasi, film hidup, maka pertanyaan yang valid
adalah apakah media mendukung untuk hal ini.
Interaktivitas mengacu pada dua hal yaitu pertama apakah media yang akan dipilih
mampu melibatkan siswa dalam pembelajaran, yaitu interaksi individual antara peserta
ajar dengan materi ajarnya. Interaktivitas yang kedua menyangkut apakah media yang
akan dipakai mampu mendukung interaksi antara peserta ajar dengan nara sumber yang
akan membantu peserta ajar dalam memahami materi ajar dan interaksi antar peserta ajar.
Sampai di sini telah diulas mengenai pengertian dan karakteristik pendidikan jarak jauh,sisi di mana teknologi informasi dan komunikasi dapat berperan, serta aspek-aspek yang perlu diiperhatikan dalam menerapkan media/teknologi. Dengan demikian cukuplah kerangka yang diperlukan untuk mengulas peran teknologi komunikasi dan informasi dalam penyelenggaraan pendidikan jarak jauh di Indonesia dalam upaya untuk mengatasi kendala ruang dan waktu dalam menyampaikan program pendidikan/pembelajaran.
Teknologi Komunikasi dan Informasi: Infrastruktur dan titik akses layanan
Teknologi komunikasi dan informasi dengan infrastruktur dan titik layanannya telah jauh berkembang dengan cukup baik di Indonesia. Mulai dari teknologi yang sederhana dan murah, misalnya telekonferensi audio dengan memanfaatkan telepon melalui layanan
PERMATA atau PERtemuan MelAlui Telepon Anda (Telkom, ), korespondensi melalui
fax, siaran radio dan televisi, internet dan sampai yang canggih telekonferensi video
dengan memanfaatkan satelit misalnya layanan Vidoe Link PT Indosat.

Radio dan Televisi

Di Indonesia terdapat banyak stasiun pemancar radio dan televisi baik yang dimiliki oleh pemerintah maupun swasta yang dapat dipakai untuk mendukung penyelenggaraan
pendidikan jarak jauh dengan menyiarkan program pendidikan. Dalam hal radio hanya
ada satu institusi yang mempunyai daya jangkau secara nasional, yaitu Radio Republik
Indonesia. Daya jangkau stasiun radio swasta yang pada umumnya menggunakan
gelombang FM pada frequensi 88 – 108 MHz tidak lebih dari radius 100 km (Radio
Nederland, 2001). Selain itu dari sisi peraturan, ada pula pembatasan daya jangkau
stasiun pemancar radio yang diwujudkan dalam kategori stasiun pemancar mulai dari
siaran internasional, nasional sampai pada siaran lokal. (Undang Undang Nomor 4, 1997)Untuk mengatasi keterbatasan jangkauan, ada beberapa radio swasta yang membangun
jaringan dengan anggota di berbagai kota, misalnya Trijaya Network terdiri atas stasiun radio Trijaya Jakarta, SCFM Surabaya, Prapanca Medan dan , Mercurius Top FM
Makassar, dan Voice of Papua FM Jayapura (Trijaya, 2002). Dalam jaringan radio ini
juga berlangsung pendidikan informal secara jarak jauh dengan mengangkat topik-topik
yang menjadi perhatian masyarakat umum mulai dari masalah kesehatan, sosial dan
politik. Informasi mengenai program dari jaringan radio ini dapat diperoleh melalui
website www.trijaya-fm.com.
Dalam hal televisi, di Indonesia terdapat satu stasiun pemancar milik negara (TVRI) dan delapan stasiun televisi swasta. TVRI adalah program nasional sehingga siarannya
hampir dapat diterima di setiap pelosok tanah air walaupun masih ada daerah-daerah
yang tetap tidak bisa menerima siaran. Dilihat dari proporsi wilayah, siaran TVRI
menjangkau hanya 37% dari wilayah Indonesia, namun telah menjangkau 68% dari
populasi penduduk Indonesia (Padmo, 2000). Stasiun televisi swasta bervariasi dalam
daya jangkau siarannya, namun hampir setiap kota besar di Indonesia dapat menerima
siaran dari televisi swasta.
Dari aspek aksesibilitas, radio mempunyai tingkat aksesibilitas yang tinggi. Tingkat
pemilikan radio di sembilan wilayah perkotaan dengan angka penetrasi sebesar 40%
(Katili-Niode, 2002). Dari sumber yang sama diperoleh bahwa televisi mempunyai
aksesibilitas yang sedikit lebih rendah yaitu dengan penetrasi 31%. Dari sisi sasaran
peserta jelas bahwa aksesibilitas radio dan televisi tidaklah rendah. Namun kenyataannya televisi dan radio belum besar perannya dalam pendidikan jarak jauh di Indonesia.
Beberapa studi dapat dipakai sebagai acuan dalam menjelaskan fenomena di atas.
Studi yang dilakukan Nurul Huda dkk (2000) menunjukkan bahwa radio mempunyai
keterbatasan dalam daya jangkau dan untuk memperluas daya jangka diperlukan stasiun
relay atau kerjasama dengan radio lokal. Lebih jauh studi tersebut menyatakan bahwa
kesediaan radio lokal untuk mengalokasikan waktu untuk siaran pendidikan pada
umumnya (53 % dari responden) maksimum 60 menit per minggu. Sedangkan yang
bersedia mengalokasikan waktu antara 20 – 60 menit per hari hanya sebesar 20 % dari
total stasiun pemancar radio yang dijadikan sampel. Kendala pengalokasian waktu lebih
banyak bagi siaran program pendidikan adalah biaya siaran dimana satuan biaya siaran
radio per jam siaran per peserta untuk sejumlah 500 peserta masih sekitar 6 USD atau 1.5 USD untuk 1250 peserta (Bates, 1995). Hal inilah yang menjadi kendala bagi penyiaran siaran pendidikan yang secara spesifik mengacu kepada matakuliah tertentu.
Dalam konteks Indonesia agak sulit bagi sebuah stasiun radio swasta lokal untuk
mendapatkan 1250 pendengar bagi setiap siaran pendidikannya. Isu ini mungkin tidak
terlalu relevan bagi pembelajaran pada sekolah dimana siswa pada tingkat dan jenjang
yang sama mengikuti program pembelajaran yang sama. Berbeda halnya dengan
pendidikan tinggi yang menerapkan sistem kredit semester. Dalam sistem ini variasi
pengambilan matakuliah bisa sangat beragam, terlebih bagi pendidikan terbuka dan jarak jauh yang mempunyai ciri fleksibilitas dalam proses pembelajarannya.
Siaran pendidikan melalui televisi mempunyai konsekuensi pembiayaan yang lebih besar
lagi. Berdasarkan hasil riset selama lebih dari delapan tahun, satuan biaya untuk
penyiaran program pendidikan per peserta per jam siaran untuk 500 peserta masih lebih
besar dari 25 USD. Bahkan untuk jumlah 1250 mahasiswapun biaya satuannya masih
lebih besar dari 10 USD (Bates, 1995).
Kendala lain bagi pemanfaatan siaran radio dan televisi adalah media ini adalah sekali tayang bila pada waktu penayangan para peserta tidak menyaksikan maka mereka
kehilangan (Huda dkk, 2000). Untuk mengganti yang hilang, maka harus ada siaran ulang
yang memerlukan biaya penyiaran yang sama. Selain itu, media siaran ini pada dasarnya
adalah media satu arah. Materi yang disiarkannya sebagian besar sudah terekam sehingga interaksi dalam media umumnya tidak ada. Jadi media ini mampu mengatasi kendala ruang dalam penyampaian program pendidkan jarak jauh dengan biaya yang relatif mahal namun masih terikat pada kendala waktu.

Telekonferensi

Telekonferensi adalah suatu pertukaran informasi secara langsung antara dua orang atau lebih yang berada pada dua atau lebih lokasi yang berbeda dengan memanfaatkan suatu sistem telekomunikasi. Pada dasarnya telekonferensi adalah sarana komunikasi dua arah sehingga dalam pendidikan jarak jauh berperan untuk menjembatani komunikasi antara peserta ajar dengan nara sumber, khususnya dalam pemberian layanan bantuan belajar.
Ada dua jenis telekonferensi, yaitu telekonferensi audio dan telekonferensi video. Dalam telekonferensi audio, informasi yang dipertukarkan berupa suara sedangkan dalam
telekonferensi video informasi yang dipertukarkan dalam bentuk suara dan gambar hidup
yang sinkron dengan suara. Oleh karena itu dalam telekonferensi video dibutuhkan pita
komunikasi (bandwidth) lebih besar dari telekonferensi audio.
Ada beberapa sarana telekomunikasi yang bisa dipakai untuk mendukung telekonferensi
audio, yaitu: telephone, satelit, dan internet. Penyelenggaraan telekonferensi audio
dengan memanfaatkan telepon dapat dilakukan dengan memanfaatkan layanan
PERMATA (Pertemuan Melalui Telepon Anda) dari PT Telkom. Layanan Permata telah
tersedia diberbagai kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Ujung Pandang,
Menado dan Medan (Telkom, 2002). Dengan layanan PERMATA, sebanyak 30 nomor
sambungan dapat dihubungkan sehingga terjadi konferensi. Partisipasi dalam PERMATA
dapat dilakukan dari telepon yang ada di rumah, kantor, wartel, atau bahkan dari telepon umum. Walaupun hanya mampu menghubungkan 30 sambungan telepon secara simultan
tidak berarti bahwa konferensi hanya bisa diikuti oleh 30 peserta. Peserta yang tinggalnya berdekatan dapat bersama-sama menggunakan satu speaker phone yang dilengkapi dengan mic sehingga setiap orang dapat mendengar pembicaraan dan dapat berpartisipasi dalam telekonferensi.
Struktur biaya hanya mempunyai satu komponen yaitu pulsa telepon selama mengikuti
telekonferensi. Pemanfaatan PERMATA untuk penyelenggaraan telekonferensi dalam
rangka pembelajaran jarak jauh ini dari segi biaya tidaklah terlalu memberatkan bagi
peserta yang tinggal di kota tempat penyelenggaraan telekonferensi karena mereka tidak harus membayar tarif interlokal. Bagi peserta yang harus membayar biaya pulsa
interlokal tentunya hal ini memberatkan bagi sebagian peserta karena mahalnya tarif
interlokal di Indonesia.
Walaupun penetrasi telepon di perumahan hanya 2.5% (Titan, 1997), namun pada
kalangan berpenghasilan menengah ke atas penetrasi telepon sebesar 70% (Marketing
Intelligence Corporation, 2000). Sekalipun demikian akses pada telepon bagi kalangan
ekonomi lemah sangat terangkat dengan hadirnya warung telekomunikasi yang berjumlah
tak kurang dari 180.000 buah (Tjokrosudarmo, 2001) yang tersebar diseluruh pelosok
tanah air. Wartel ini menyediakan layanan telepon bagi masyarakat umum. Sarana
telepon ini mempunyai aksesibilitas yang tinggi karena selain jumlah wartel yang sangat banyak, tarifnyapun lebih murah dari tarif telepon bagi perumahan. Sayangnya layanan PERMATA masih terbatas pada enam kota tersebut di atas sehingga pemanfaatan dalam skala besar akan sulit karena akan ada peserta yang harus menanggung biaya interlokal.
Telekonferensi video memungkinkan penyelenggaraan perkuliahan secara jarak jauh
dimana pengajar dapat menyaksikan aktivitas peserta ajar di tempat lain dan sebaliknya peserta ajar dapat menyaksikan aktivitas pengajar dan peserta ajar di tempat lain. Pada setiap ruang penyelenggaraan telekonferensi video terdapat sekurang-kurangnya satu set televisi untuk menampilkan aktivitas di lokasi lain dan satu kamera video yang berfungsi untuk mengambil gambar hidup dari aktifitas ruang tersebut dan mengirimkan ke ruangan lain dan satu peralatan yang berfungsi untuk mengirim citra aktivitas ke lokasi lain dan menerima citra aktivitas dari lokasi lain. Investasi peralatan untuk telekonferensi video sekitar 20.000 USD atau sekitar Rp 200 juta lebih per lokasi (Moore & Kearsley, 1996)
Selain biaya investasi peralatan yang mahal, biaya operasi telekonferensi video juga
mahal karena membutuhkan pita komunikasi yang lebih lebar . Hal ini disebabkan karena
selain mengirimkan informasi dalam bentuk suara juga mengirimkan informasi dalam
bentuk gambar bergerak. Biasanya diperlukan saluran komunikasi melalui satelit yang
tarif non-komersial mencapai 100 USD/jam untuk kecepatan 112 Kbps dan 150 USD
untuk 336 Kbps (LVC, 2002). Di Indonesia, tarif penyelenggaraan konferensi video
melalui Indosat Video Link diatur berdasarkan jarak yang diklasifikasikan dalam tujuh
zone. Tarif zone I (termurah) adalah Rp 705.600 untuk kecepatan 128 Kbps dan Rp
2.116.800 untuk kecepatan 384 Kbps. Biaya tersebut baru mencakup biaya
telekomunikasinya dan belum mencakup biaya sewa ruang dalam gedung milik Indosat
yang minimal sebesar 80 USD per jam untuk ruangan berkapasistas 12 orang. (Indosat
2002).
Pengiriman data video satu arah yang bagus untuk ukuran 15 frame per detik 248 x 200
pixel memerlukan memerlukan bandwidth sebesar 167 kbps (Sorenson, 2002). Karena
telekonferensi video merupakan komunikasi dua arah, maka diperlukan bandwidth
sebesar dua kali 167 kbps atau 334 kbps. Bandwith kurang dari 300 kbps akan
menyebabkan gerakan gambar video tidak tampak mulus namun terputus-putus dan tidak
enak dipandang.
Selain itu, karena mahalnya investasi dan biaya operasionalnya, fasilitas telekonferensi video ini tidak banyak yang memiliki. Akibatnya, peserta telekonferensi video harus datang pada tempat tertentu pada jam tertentu untuk mengikuti perkuliahan jarak jauh.
Hal ini jelas akan menurunkan taraf fleksibilitas dari penyelenggaraan program
pendidikan jarak jauh.

Pembelajaran Berbantuan Komputer

Secara umum pembelajaran berbasis komputer dapat dimasukkan dalam dua kategori
yaitu komputer mandiri (standalone) dan komputer dalam jaringan. Perbedaan yang
utama antara keduanya terletak pada aspek interaktivitas. Dalam pembelajaran melalui
komputer mandiri, interaktivitas peserta ajar terbatas pada interaksi dengan materi ajar yang ada dalam program pembelajaran.
Pada pembelajaran dengan komputer dalam jaringan, interaktivitas peserta ajar menjadi
lebih banyak alternatifnya. Pada pembelajaran dengan komputer dalam jaringan dikenal
dua jenis fungsi komputer, yaitu komputer server dan komputer klien. Interaksi antara
peserta ajar dengan tenaga pengajar dilakukan melalui ke dua jenis komputer tersebut.
Institusi penyelenggara pendidikan jarak jauh menyediakan komputer server untuk
melayani interaksi melalui website server, e-mail server, mailinglist server, chat server, sedangkan peserta ajar dan tenaga pengajar memakai komputer klien yang dilengkapi dengan browser (misalnya Netscape atau Internet Explorer), e-mail client (misalnya Eudora), dan chat client. Browser adalah program komputer yang berfungsi untuk membaca isi website. Sekarang ini, browser sudah banyak yang dilengkapi dengan e-mail client.
Selain berinteraksi dengan program pembelajaran, peserta ajar dapat pula berinteraksi
dengan nara sumber dan peserta ajar lain yang dapat dihubungi melalui jaringan dengan
memanfaatkan e-mail atau mailinglis, serta mereka dapat mengakses program
pembelajaran yang relevan dari sumber lain dengan mengakses website yang
menawarkan program pembelajaran secara gratis.
Aspek yang menjadikan masalah bagi penerapan pembelajaran berbantuan komputer di
Indonesia adalah masalah aksesibilitas, baik dalam arti akses fisik, maupun kemampuan
memanfaatkan komputer untuk kegiatan pembelajaran oleh tenaga pengajar dan peserta
ajar. Dari sisi akses fisik, penetrasi komputer di Indonesia pada tahun 2001 sebesar 0.56% atau satu komputer untuk 176 pemakai. (Santiago, 2001). Sedangkan dari sumber lain diperoleh penetrasi internet di Indonesia sebesar baru sekitar 1% (Arbi, 2001)
Sekalipun angka-angka penetrasi tersebut di atas menimbulkan pesimisme akan
pemanfaatkan komputer sebagai media pembelajaran, namun kehadiran warposnet,
warnet, dan WARINTEK 9000, menimbulkan dapat mengurangi pesimisme atau bahkan
menimbulkan optimisme baru.

Warposnet dan Warnet

Warposnet adalah jasa akses ke Internet yang disediakan oleh PT Pos Indonesia bagi
masyarakat umum yang tidak mempunyai sambungan Internet, baik di rumah ataupun di
kantor. Sekarang ini warposnet hadir di 116 kota di seluruh Indonesia. Warnet adalah
juga layanan akses ke Internet namun diselenggarakan oleh perusahaan swasta. Sekarang
ini jumlah warnet di Indonesia tak kurang dari 2500 buah (Widodo, 2002). Dari sumber
yang sama, dalam 2500 warnet ini terdapat kurang lebih 250.000 pengguna internet.
Tarif akses internet melalui warnet dan warposnet ini sangat kompetitif yang berkisar
antara Rp 5000 sampai Rp 6000 per jam (Kompas, 2001). Namum, banyak wartel yang
menghitung biaya pemakaian per menit atau per lima belas menit, sehingga lebih
membuat biaya pemakaian lebih murah.
Melalui warposnet dan warnet tersebut, masyarakat dapat mencari informasi yang ada di
Internet, termasuk didalamnya program pembelajaran yang disediakan oleh institusi
pendidikan jarak jauh. Disamping itu mereka juga dapat membuat alamat surat elektronik yang gratis yang tersedia di berbagai server misalnya boleh.mail.com yahoo.com atau hotmail.com. Dengan surat elektronik tersebut mereka dapat melakukan korespondensi dengan institusi penyelenggaran pendidikan jarak jauh baik untuk keperluan informasi umum mengenai program pendidikan, administrasi atau untuk bantuan layanan akademis.

WARINTEK 9000

Warintek adalah warung informasi teknologi yang mulai beroperasi sejak 1998
merupakan program kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi, Republik Indonesia,
bekerja sama dengan Myoh.com. Angka 9000 di atas menunjukkan target jumlah
Warintek pada tahun 2004 dimana dinginkan ada satu warintek di setiap kecamatan di
Indonesia yang berjumlah kurang lebih 8000 dan 1000 sisanya direncanakan dibuka di
wilayah yang padat penduduknya (Warintek, 2002). Pada bulan September 2001, jumlah
Warintek telah mencapai 100 buah (Natnit, 2001). Salah satu layanan dari Warintek 9000 adalah akses ke Internet. Dengan demikian, apa yang dapat dilakukan oleh pelanggan diwarnet dan warposnet dapat dilakukan juga di Warintek.
Layanan lain dari Warintek adalah akses informasi atau database lokal off-line baik
bibliografi maupun teks penuh yang dikemas dalam CD-ROM. Pada saat ini dalam telah
tersedia data base dalam bidang lingkungan, teknologi tepat guna dalam budidaya
peternakan, pengolahan pangan, alat pengolahan, pengelolaan air dan sanitasi, institusi penelitian dan pengembangan di Indonesia, Katalog induk jaringan kerjasama sebelas perpustakaan, materi pelatihan untuk digitalisasi perpustakaan, bahkan tersedia kumpulan resep masakan Indonesia. Masyarakat umum dapat datang ke Warintek untuk mengakses semua basis data tersebut di atas, mencetaknya dan membawa pulang untuk dipelajari lebih lanjut. Dari sini dapat diartikan bahwa Warintek dalam hal ini telah menerapkan pembelajaran berbantuan komputer secara mandiri. Mengingat Warintek juga menjalin kerjasama dengan berbagai institusi, salah satunya adalah Universitas Terbuka (UT), maka tidak tertutup kemungkinan suatu saat nanti materi ajar UT dapat diakses secara off-line masyarakat melalui Warintek yang tersebar di seluruh kecamatan di indonesia.
Dengan demikian aksesibilitas pembelajaran melalui komputer baik secara mandiri
maupun dalam jaringan akan meningkat. Walaupun peserta pendidikan jarak jauh harus
pergi ke warnet, warposnet, ataupun Warintek, karena tersedia sampai pada level
kecamatan maka pengurangan fleksibilitas dari sisi tempat akses tidaklah terlalu
signifikan pada umumnya. Namun karena informasi dan program pembelajaran selalu
tersedia, kecuali ada kerusakan pada jaringan atau komputer server penyedia informasi
dan program pembelajaran, maka tidak terjadi penurunan pada taraf fleksibilitas waktu.
Hal ini tentu sangat berbeda dengan kasus telekonferensi baik audio maupun video,
siaran radio dan televisi.
Melihat perkembangan aksesibilitas komputer dan jaringan komputer di atas, maka salah
satu kesimpulan studi kasus yang diselenggarakan ITU mengenai prospek e-ASEAN,
yaitu “Digital divide is not an infrastructure problem but an affordability and awareness problem” (ITU, 2001). Digital divide adalah kesenjangan akses pada informasi digital yang disebabkan oleh adanya dua kelompok anggota masyarakat dimana yang satu mempunyai akses pada jaringan informasi digital sedang kelompok yang lain tidak. Kesenjangan ini mempunyai dampak yang serius karena masyarakat yang tidak
mempunyai akses pada jaringan informasi akan tertinggal.

Kesimpulan

Dari ulasan di atas dapat disimpulkan bahwa setiap teknologi mempunyai kendala dalam
pemanfaatannya guna mendukung penyelenggaraan pembelajaran jarak jauh. Kendala
timbul dari aspek aksesibilitas dan biaya sehingga menurunkan fleksibilitas ruang dan
waktu yang merupakan “selling point” bagi penyelenggaraan pendidikan jarak jauh. Ada
teknologi yang kemampuannya untuk mengatasi kedala ruang dalam penyelenggaraan
pendidikan jarak jauh tidak dapat berfungsi maksimal, karena salah satu penyebabnya
adalah keterbatasan daya jangkau akibat harus mengikuti peraturan perundang-undangan
yang berlaku, misalnya siaran radio. Ada teknologi yang mempunyai kendala biayanya
yang sukar diatasi, misalnya telekonferensi video dan siaran televisi. Dari sisi penerima, siaran televisi tidak bermasalah, namun penyedia program siaran menghadapi kendala biaya produksi program siaran dan biaya penyiaran. Ada pula teknologi yang mempunyai kendala aksesibilitas dan biaya dapat diatasi (misalnya pembelajaran dengan komputer) karena menjamurnya warnet, warposnet, dan Warintek serta semain kompetitifnya “baca murah” tarif jasa mereka.
Barangkali tepatlah apa yang dikatakan oleh Sir John Daniel yaitu ‘distance education
has evolved as a function of time, place and technology’ (Daniel, 1996, p.47) atau yang berarti pendidikan jarak jauh telah berkembang sebagai fungsi dari waktu, tempat dan teknologi. Wujud dari pendidikan jarak jauh berbeda dari satu tempat ke tempat yang lain, dari waktu dulu ke waktu sekarang, dan berbeda karena alternatif teknologi yang tersedia makin beragam. Dengan demikian pendidikan jarak jauh di Indonesia tidak harus sama dengan pendidikan jarak jauh di Amerika, atau pendidikan jarak jauh di Indonesia sekarang tidak harus sama dengan wajah pendidikan jarak jauh Indonesia 30 tahun yang silam yang sangat terbatas alternatif teknologinya. Pendidikan jarak jauh Indonesia sekarang harus mampu memanfaatkan alternatif teknologi yang tersedia tanpa
meninggalkan perhatian atas empat aspek penting dari teknologi yang telah diidentifikasi di atas, yaitu aksesibilitas, biaya, efektifitas dalam fungsi pembelajaran, serta kemampuan teknologi untuk mendukung interaktivitas antara peserta ajar dan tenaga pengajar yang dipandang sangat penting dalam pendidikan.

Tidak ada komentar: